PELITA HARAPAN DI DESA TERPENCIL

PLTA DI DESA SALEBBA MENDORONG PERUBAHAN DI MAMASA Menurut Rothman dan Tropman (1987) pengorganisasian komunitas dalam kerangka pengembangan masyarakat terdiri dari tiga pola: (1) Pengembangan Komunitas Lokal, (2) Perencanaan Sosial dan (3) Aksi Sosial. Berdasarkan bacaan PLTA Mini Bangkitkan Desa Terpencil pembangunan PLTA mini ini termasuk kedalam Perencanaan Sosial dan Pengembangan Komunitas Lokal. Perencanaan sosial sendiri menekankan pada suatu program yang di desain dari pemerintah yang kemudian dilaksanakan oleh masyarakat pada tingkat local. Pembanguann PLTN mini ini diawali oleh usulan dari pemerintah tingkat desa khususnya dari sekretaris Desa Salebba. Laporan mayarakat akan minimnya saran dan prasaran desa terutama listrik menumbuhkan kesadaran sekertaris Desa Salebba untuk membangun PLTA yang didasarkan oleh pemahamannya mengani turbin. Ide pembuatan PLTA ini mendorong pembangunan daerah dengan dukungan awal datang dari aparat desa Salebba, kepala dusun dan ketua RT. Sebelum pembangunan PLTA, dilakukan mobilisasi salah satunya yaitu identifikasi sumber daya pendukung. Data menunjukan bahwa topografi Desa Salebba menudukung pembanguan PLTA. Selain itu, ketersedian air dan material seperti pasir sungai mendukung pembangunan PLTA mini ini. Warga desa pun memberikan respon positif terhadap ide pembangunan PLTA ini, kegiatan pembangunan dilakukan oleh warga secara gotong royong. Meskipun proyek pembangunan pada tahap satu ini dinilai gagal (dibawah koordinasi sekretaris desa) namun proyek ini dilanjutkan kembali oleh Kepala Desa Muansyur Hamid yang sebelumnya melakukan studi banding ke daerah lain yang berhasil menikmati listrik PLTA system turbin. Dalam studi banding tersebut ia melibatkan tokoh-tokoh mayarakat untuk ikut berpartisipasi. Meskipun proyek pembangunan PLTA ke dua ini sempat tidak mendapat dukungan dari masyarakat karena kegagalan sebelumnya, namun melalui sosialisasi yang cukup panjang pemerintah desa berhasil menarik partisipasi warga. Sedangkan pola pengembangan komunitas local terlihat karena lebih memberi penekanan pada proses dan partisipasi anggota komunitas dalam memecahkan masalah. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatan anggota komunitas yang sudah memiliki jiwa gotong royong yang baik sehingga proses musyawarah maupun dalam pelaksaan program. Masyarakat dipandang sebagai sebagai warga yang sederajat yang memiliki kekuatan-kekuatan yang perlu diperhatikan tetapi belum semuanya dapat dikembangkan dengan baik. Pembanguan PLTA Mini ini melibatkan beberapa aktor yaitu sekcam, kepala desa, tokoh masyarakat, dan LP2M yang mempunyai peran sebagai Facilitative Roles. Sekcam termasuk dalam peran ini karena beliau yang pertama kali mengajukan ide untuk membuat PLTA, meskipun proyek pembuatan PLTA I ini gagal. Kepala Desa berinisiatif melanjutkan proyek tersebut dengan salah satu cara yaitu melakukan studi banding ke daerah lain. Studi banding tersebut juga melibatkan tokoh masyarakat untuk menjembatani penyampaian informasi keberhasilan pembangunan PLTA di daerah lain kepada warga Desa Salebba. Lembaga swadaya masyarakat LP2M juga mempunyai peran sebagai Facilitative Roles karena lembaga ini mampu memfasilitasi proses sosialisasi pembangunan PLTA II serta sebagai fasilitator dalam Rembuk Desa. Kepala Desa juga memiliki peran sebagai Educational Roles, karena keuletan beliau untuk mencari informasi tentang pembangunan PLTA membuat perencanaan pembangunan tahap II menjadi lebih matang. Seorang teknisi dari Mamasa bernama Ir. Palinggi juga memiliki peran ganda sebagai Educational Roles dan Technical Roles karena beliau memberikan masukan mengenai penyebab kegagalan pembangunan PLTA, seperti debit air yang kurang memadai sehingga daya listrik yang dihasilkan lemah. Beliau juga memberikan pelatihan kepada tenaga operator lokal tentang teknis pemakaian dan perbaikan PLTA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI KULIAH BAHASA INDONESIA