MATERI KULIAH SEJARAH BAHASA INDONESIA
Masa lalu sebagai bahasa Melayu[
Bahasa Indonesia
adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan
sebagai lingua franca di Nusantarakemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam
bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari
wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai
jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya
sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi,
dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek
"o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang
secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau
Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7
di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis
semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian
dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu
mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu
tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut
disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan
Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya
diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke
pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu
(suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu
semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno
yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu
Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam
Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya
orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak
lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya
adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (=
Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah
Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia.
Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat
"e".
Kesultanan Malaka
dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke
kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal
dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk
asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki
hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak
Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a"
seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera
sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku
Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami
perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan
kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang
historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk
kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto
Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah
mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya
agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah
etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami
amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok,
seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut:
"Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi
seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu
walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya.
Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang
mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa
Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang
ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan
bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan
penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula
dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata
seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk
pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15
berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya
kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya
terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya
bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellandilaporkan memiliki
budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling
menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman daribahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari
penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab
seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi
seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada
periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga
sekarang.
Kedatangan pedagang
Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan
mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak
memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti
gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama
banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam
upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa
ini.
Bahasa yang dipakai
pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat
kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah
dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan
perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko,
tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17
dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang
Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia
timur".[12] Luasnya
penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal.
Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara
bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa
setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan
timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan
Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir
ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama
berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian
lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting
terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu.
Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged,
sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki
kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad
ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang
dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku
serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar.
Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan
berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda
menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi
kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi
dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah
memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam
standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah
dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan
ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai
terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20
perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun
1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi
bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van
Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun
1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah
semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi
Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910
komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan
program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di
berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan
program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia
secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus,
sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di
Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu
pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya
ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa
dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya
perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut
banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi
bahasa Indonesia.[16]
·
Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku
bacaan yang diberi nama Commissie voor de
Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah
menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun
bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu
penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
·
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan
bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam
sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
·
Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar
bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
·
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya
sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
·
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa
Indonesia.
·
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat
disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah
dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
·
Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai
pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk
terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa
kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik
Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
(EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula
dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
·
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan
Nusantara).
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati
Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
·
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di
Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah
Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat
tercapai semaksimal mungkin.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia
V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa
Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat
seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu
ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia danTata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia
dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam,
Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan
Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta
mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII
di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Ejaan-ejaan untuk
bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:
Ejaan ini merupakan
ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahimmenyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian
dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial
pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk
membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus
disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai.
Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk
menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang,
dsb.
3. Huruf oe untuk
menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer,
dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan
tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’,
dsb.
Ejaan ini diresmikan
pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga
dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini
yaitu:
1. Huruf oe diganti
dengan u pada kata-kata guru, itu, umur,
dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi
sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat,
dsb.
3. Kata ulang boleh
ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di-
dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata
yang mendampinginya.
Konsep ejaan ini
dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun
berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
Ejaan ini diresmikan
pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia.
Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD,
ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin
dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak 1972
|
tj
|
ch
|
c
|
dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
Catatan: Tahun 1947
"oe" sudah digantikan dengan "u".
Bahasa Indonesia
adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap
kata-kata dari bahasa lain.
Asal bahasa
|
Jumlah kata
|
3.280 kata
|
|
1.610 kata
|
|
1.495 kata
|
|
677 kata
|
|
290 kata
|
|
131 kata
|
|
83 kata
|
|
63 kata
|
|
7 kata
|
Sumber: Buku berjudul
"Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun
oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).
Adapun jumlah
kata-kata yang diserap dari bahasa Nusantara dalam KBBI Edisi Keempat ditunjukkan
di dalam daftar berikut:[18]
Asal bahasa
|
Jumlah kata
|
1109 kata
|
|
929 kata
|
|
223 kata
|
|
221 kata
|
|
153 kata
|
|
112 kata
|
|
100 kata
|
Indonesia termasuk
anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa Indonesia
didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra
Bahasa Indonesia
dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area
perkotaan (seperti di Jabodetabek dengan
dialek Betawi serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di
daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah
bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang
sedaerah kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia
memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan
bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
2. Undang-Undang Dasar RI
1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal
36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal
tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
1. Bahasa kebangsaan,
kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
Bahasa Indonesia
mempunyai 26 fonem yaitu 21 huruf mati dan 5 huruf hidup. Di samping itu sistem tata bahasanya sederhana, di mana:
Vokal
|
|||
Depan
|
Madya
|
Belakang
|
|
Tertutup
|
iː
|
uː
|
|
Tengah
|
e
|
ə
|
o
|
Hampir Terbuka
|
(ɛ)
|
(ɔ)
|
|
Terbuka
|
a
|
Bahasa Indonesia juga
mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku
kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai
diftong
Konsonan
|
|||||
Bibir
|
Gigi
|
Langit2
keras |
Langit2
lunak |
Celah
suara |
|
Sengau
|
m
|
n
|
ɲ
|
ŋ
|
|
Letup
|
p b
|
t d
|
c ɟ
|
k g
|
ʔ
|
Desis
|
(f)
|
s (z)
|
(ç)
|
(x)
|
h
|
Getar/Sisi
|
|
l r
|
|
|
|
Hampiran
|
w
|
|
j
|
|
|
·
Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda
kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
·
Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar.
Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata
terakhir.
Huruf besar
|
Huruf kecil
|
Huruf besar
|
Huruf kecil
|
||
A
|
a
|
/ɑː/
|
N
|
n
|
/n/
|
B
|
b
|
/b/
|
O
|
o
|
/ɔ, o/
|
C
|
c
|
/tʃ/
|
P
|
p
|
/p/
|
D
|
d
|
/d/
|
Q
|
q
|
/q/
|
E
|
e
|
/e, ɛ, ə/
|
R
|
r
|
/r/
|
F
|
f
|
/f/
|
S
|
s
|
/s/
|
G
|
g
|
/ɡ/
|
T
|
t
|
/t/
|
H
|
h
|
/h/
|
U
|
u
|
/u/
|
I
|
i
|
/i/
|
V
|
v
|
/v, ʋ/
|
J
|
j
|
/dʒ/
|
W
|
w
|
/w/
|
K
|
k
|
/k/
|
X
|
x
|
/ks/
|
L
|
l
|
/l/
|
Y
|
y
|
/j/
|
M
|
m
|
/m/
|
Z
|
z
|
/z/
|
Dibandingkan dengan
bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti
"dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu
lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti
"adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci
sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik
laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang
berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra".
Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas,
kedua kata itu diserap daribahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah
kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika
jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang"
dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai
banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia
menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami"
dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti
tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti
inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar
yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin.
Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek.
Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan
dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau
"esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa
yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu
pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali
belajar bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia
mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari
bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Fungsi (pembentuk)
|
Perubahan bentuk
|
Kaitan
|
|
verba
|
be-; bel-
|
per-
|
|
verba; adjektiva
|
te-; tel-
|
ke-
|
|
verba (aktif)
|
me-; men-; mem-; meny-
|
di-; pe-; ku-; kau;
|
|
verba (pasif)
|
meng-
|
||
nomina; numeralia; verba (percakapan)
|
ter-
|
||
verba; nomina
|
pe-; pel-
|
ber-
|
|
nomina
|
pe-; pen-; pem-; peny-
|
meng-
|
|
klitika; adverbia
|
|||
verba (aktif)
|
me-
|
Pada keadaannya bahasa
Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut
sebagai dialek dan varian
menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas
hal ihwal berikut:
1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa
bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang
digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain
meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
2. Dialek sosial, yaitu dialek yang
digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat
masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
3. Dialek temporal, yaitu dialek yang
digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
4. Idiolek, yaitu keseluruhan
ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita
masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa,
atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam
bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi
atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan
antarpembicara.
Ragam bahasa menurut
pokok pembicaraan meliputi:
Ragam bahasa menurut
hubungan antarpembicara dibagi atas:
1. ragam lisan, terdiri
dari:
1. ragam percakapan
3. ragam kuliah
4. ragam panggung
2. ragam tulis, terdiri
dari:
1. ragam teknis
2. ragam undang-undang
3. ragam catatan
4. ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya,
bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
1. komunikasi resmi
2. wacana teknis
3. pembicaraan di depan
khalayak ramai
4. pembicaraan dengan
orang yang dihormati
Selain keempat
penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.
3. ^ Kridalaksana H.
1991. Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia. Dalam Kridalaksana H. (penyunting). Masa Lampau
bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
4. ^ Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I 1939 di Solo: "jang dinamakan 'Bahasa
Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari
'Melajoe Riaoe' akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi
menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah
dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem
ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia", dikutip di
Pendahuluan KBBI cetakan ketiga.
5. ^ Asmadi
T.D. Arti Tanggal 2 Mei
bagi Bahasa Indonesia. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi 08 Februari 2010. diakses 5 Maret
2010.
6. ^ Depdiknas Terbitkan
Peta Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita AntaraOnline edisi
22 Oktober 2008.
7. ^ Why Indonesian is
important to learn. Situs web pengajaran bahasa Indonesia di Universitas Negeri Ohio.
8. ^ Farber, Barry.
J. How to learn any language quickly, enjoyably and on your own.
Citadel Press. 1991.
10. ^ Penemuan
prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di
dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10
menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa
11. ^ Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berbahasa Melayu
Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
13. ^ Hal ini tidak
mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari
etnis Tionghoa.
17. ^ Etek, Azizah
(2008). Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di
Volksraad 1927 - 1939. LKiS.
18. ^ Kontribusi Kosakata
Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia artikel oleh Adi Budiwidiyanto di
situs Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses 3 November
2012a
Komentar
Posting Komentar